ALHAMDULILLAH kami diberi kesempatan melakukan ibadah umrah pada bulan November 2017 dengan travel langganan kami, Patuna Travel, dan semua berjalan dengan lancar dan menyenangkan.
Namun, ternyata penerbangan kami tidak tepat. Perusahaan penerbangan yang dianggap terbaik di dunia, Turkish Airlines, ternyata tidak sebaik dan sebagus gelarnya, perlakuan ground staff mereka di Bandara Internasional Ataturk, Istanbul, berbanding terbalik dengan kualitas onboard service mereka.
Ini Soal Nyawa!
Pada tanggal 24 November pagi, seorang jamaah umrah asal Indonesia, kalau tidak salah dari travel Arminareka mengalami gagal pernafasan di Bandara Ataturk. Beberapa dari jamaah Indonesia yang kebetulan dokter telah mencoba memberikan pertolongan, tapi tidak terlalu membantu banyak karena jamaah tersebut, seorang ibu separuh baya berumur kisaran 50 tahun sangat membutuhkan oksigen, yang tidak tersedia di area tersebut, Gate 219, yang mana ketidaktersediaan alat bantu penyelamatan darurat adalah sesuatu yang tidak wajar untuk sebuah bandara berkelas internasional.
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan dan tidak adanya petugas dari Turkish Airlines di ruang tunggu keberangkatan tersebut, kami berinisiatif mencari pertolongan kepada petugas maskapai tersebut. Namun tidak seperti yang kami bayangkan, tidak ada satupun petugas yang kami kontak mau membantu kami, baik petugas security bandara, petugas informasi bandara, bahkan yang menyedihkan petugas jaga di counter Turkish pun dengan gestur bahasa tubuh yang angkuh mengabaikan permohonan bantuan dari kami, dengan angkuhnya saat kami complain mereka hanya menyampaikan kalimat: “no problem“. Sebuah sikap yang tidak kami sangka dari seorang petugas perusahaan penerbangan berkelas internasional seperti Turkish Airlines.

Akhirnya kami berinisiatif menelpon port klinik yang nomornya kami dapatkan dengan penuh kesulitan, adanya keengganan dari pihak petugas informasi bandara menyebabkan kami kesulitan mendapatkan nomor kontak klinik tersebut. Akhirnya kami berhasil mengkontak klinik dan mereka menjanjikan segera mengirim petugas dalam 5 menit, sesudah mereka bersikeras meminta pembayaran di tempat dan meminta jaminan dari saya untuk pembayarannya. Di sini saya melihat bahwa pertolongan dalam kondisi teramat darurat pun memiliki nilai komersial bagi mereka.
Akhirnya dengan lambatnya penanganan medis dan minimnya bantuan yang didapatkan, sekitar pukul 01.30 waktu lokal jamaah tersebut menghembuskan nafas terakhir. Kami yakin itu sudah menjadi ketetapan Allah, tapi seandainya petugas Bandara dan petugas Turkish Airlines tanggap maka kemungkinan besar jamaah tersebut dapat tertolong.
Pada saat sebagian besar penumpang masih shock dengan kejadian tersebut dan suasana masih kacau dan panik, dengan tanpa basa basi petugas Check In tetap melakukan proses check in tetap tanpa memperdulikan peristiwa meninggalnya jamaah yang baru saja terjadi.
Kami betul-betul marah dan merasa disepelekan sebagai penumpang dan sebagai warga negara Indonesia, sikap tidak peduli petugas tersebut dan tidak adanya empati atas kejadian tersebut membuat kami melakukan protes yang akhirnya membuat petugas tersebut menghentikan proses check in dan mendatangi kami, lagi lagi dengan sebuah perdebatan dan argumen yang tidak perlu barulah petugas tersebut menelepon petugas medis bandara.
Layaknya sinetron dan film India yang sering kita tonton di TV, berdatanganlah para petugas penyelamat nyawa yang sudah kami cari dan hubungi sejak sejam lalu, dengan penuh kepanikan mereka berdatangan mencoba menyelamatkan nyawa seorang warga negara Indonesia yang sudah terlanjur terbujur kaku tanpa nyawa sejak 15 menit sebelumnya.
Saya menghargai upaya mereka tentu saja, tapi tidak sebanding dengan kemarahan dan kegeraman sebagian besar dari kami atas tidak adanya respons dan tindakan yang pantas atas keadaan darurat yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang jamaah, tiadanya rasa empati dari petugas Turkish Airlines dan petugas bandara di Turki membuat kami berpikir, pantaskah kami kembali ke Turki atau terbang dengan Turkish Airlines ? Masih pantaskah ?
Dengan penuh pertanyaan dan kekecewaan di benak kami, akhirnya kami meninggalkan Istanbul dengan sebuah kenangan yang buruk. Tingginya ego sebuah bangsa yang pernah menjadi bangsa sekuler, dan minimnya empati mereka yang berbanding terbalik dengan persepsi kita terhadap mereka.
Akhirnya saya hanya berharap agar kejadian serupa tidak terjadi lagi dan semoga para pihak penyelenggara umrah lebih selektif lagi dalam memilih perusahaan penerbangan, bukan semata karena harga dan pelayanan, namun lebih bagaimana mereka mengedepankan nilai kemanusiaan di atas bisnis yang mereka jalankan.
(netizen Gus Win, Kota Depok, Jawa Barat)